Rabu, 14 Juli 2010

Ditemukan, Vaksin AIDS pada Tubuh ODHA

PENELITI Amerika selangkah lebih dekat untuk mengembangkan vaksin melawan virus AIDS yang mematikan. Mereka menemukan antibodi yang mampu membunuh 91 persen virus HIV.

Ilmuwan menemukan tiga antibodi kuat dalam sel tubuh seorang pria gay keturunan Afrika-Amerika berusia 60 tahun yang dijuluki Donor 45. Bahkan satu di antaranya adalah antibodi yang menetralisir lebih dari 91 persen virus HIV. Tubuh pria tersebut membuat antibodi secara alami. Demikian okezone lansir dari NY Daily News, Senin (12/7/2010).

Dalam kasus Donor 45—yang antibodinya tidak menyelamatkan dirinya dari tertular HIV—peneliti menyaring sekira 25 juta sel untuk menemukan puluhan sel yang nantinya bisa menghasilkan antibodi yang kuat. Pria tersebut kemungkinan besar sudah tertular virus HIV sebelum tubuhnya mulai memroduksi antibodi. Hingga kini, ia masih hidup, dan telah mengidap HIV selama 20 tahun pada saat darahnya diambil.

Para peneliti berkeinginan membuat sebuah vaksin yang akan memungkinkan tubuh setiap orang untuk membuat antibodi serupa Donor 45. Penelitian ini diharapkan bisa membuka jalan untuk membuat vaksin yang tidak hanya efektif terhadap virus AIDS, tetapi juga virus penyakit lainnya, dan telah menjadi bagian penting dari penelitian AIDS.

Bicara soal vaksin tersebut, Gary Nabel, Direktur Vaccine Research Center di National Institute of Allergy and Infections Disease yang juga pimpinan penelitian mengatakan, "Akan butuh kerja keras. Kami akan berada di sini untuk sementara (sebelum vaksin menunjukkan manfaat yang jelas)."

Tahun lalu, efektivitas yang ditunjukkan vaksin HIV pertama terbukti mengecewakan. Menyusul penelitian vaksin berikutnya di Thailand yang menurut statistik mencapai kisaran sukses hingga 30 persen. Tapi, penemuan antibodi ini baru dapat menghasilkan treatment yang lebih menjanjikan.

"Antibodi melekat pada bagian virus yang tidak berubah, dan ini menjelaskan mengapa virus dapat menetralkan berbagai jenis HIV yang mematikan," kata Dr John Mascola, salah seorang peneliti.

Menyusun penemuan antibodi menjadi vaksin HIV yang efektif akan menjadi penelitian yang sulit, karena peneliti harus memulainya dari bagian penting virus di mana antibodi melekat padanya. Kemudian, merancang vaksin menggunakan bagian virus tersebut untuk mendorong tubuh membuat antibodi seperti yang ditemukan pada Donor 45.

Penemuan—dipaparkan dalam edisi online Journal Science—ini ditemukan hanya beberapa hari sebelum Konferensi AIDS Internasional di Vienna yang rencananya akan dilangsungkan 18-23 Juli 2010. Penelitian ini diharapkan menjadi fokus pertemuan mengingat jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kian bertambah.
http://lifestyle.okezone.com
Read Full Article...>>>

Thermography, Mammography or Ultrasound?

One of the most frequent questions I am asked as a clinical thermographer is: “What exactly is the difference between mammography, ultrasound and thermography?” There seems to be some confusion on this subject by thinking that one replaces the other as tests, nothing could be further from the truth. Both mammography and ultrasound are structural (anatomical) tests, while thermography is a functional (physiological) test. None of these tests are truly diagnostic technologies. Thermography images the breast and surrounding area and provides us with risk assessment, while mammography and ultrasound detect structural abnormalities. If a breast abnormality is found that could possibly be malignant, a biopsy is performed. A biopsy removes a tissue sample for examination under a microscope.

Many women after their initial assessment with thermography may be asked to follow up either with an ultrasound or mammogram or both to rule out the existing pathology. Frequently some will be relieved that their mammogram or ultrasound test results show no abnormal findings, however this does not necessarily mean that nothing is going on with their breasts. Several other factors may be contributing to a high risk (abnormal) thermogram, such as: hormonal imbalance, early angiogenesis (proliferation of blood vessels), lymphatic swellings and poor function and other contributing factors – all of these are important contributors to breast disease and malignancy and are not detected by mammography or ultrasound as these factors do not appear as structural changes.

The following is a list comparing all three types of tests with their pros and cons:

Mammography

• Structural test: can pinpoint the location of suspicious area

• Compresses the breast

• X-ray radiation produces an image; the area of concern must have greater density to stand out against regular tissue

• Can detect tumors in mainly slow growing stage or pre-invasive stage

• Cannot detect fast growing tumors in the pre-invasive stage

• The use of hormones decreases sensitivity

• Large, dense and fibrocystic breasts are difficult to read

• The upper portions of the breast including the tail of the breast and the Axillary region cannot be visualized

• Can detect tumors 1-2 years earlier than physical examination

• Average Specificity 75% (25% false-positive) 9 out of 10 biopsies initiated by mammography are negative

• Average Sensitivity 80% with 20% of cancers missed in women over age 50

in women under age 50 Sensitivity is 60% or 40% of cancers missed

Ultrasound

• Structural test, can pinpoint the location of suspicious area

• Uses sound waves with moderate contact

• High frequency sound waves are bounced off the breast tissue and collected as an echo to produce an image

• Able to detect some tumors missed by mammography

• No data available on detecting pre-invasive tumors

• May be affected by the hormonal influence due to the menstrual cycle, (i.e. cystic changes)

• All areas of the breast and Axillary region can be analyzed

Ultrasound - continued

• Good for distinguishing between solid and fluid masses, helpful in investigating an area of concern due to mammography, thermography or physical examination findings

• Average Specificity 66% (34% false positive)

• Average Sensitivity 83% (17% of cancers missed)

Thermography

• Functional testing, able to detect physiological changes, cannot pinpoint the exact location of suspicious area

• No radiation, non-invasive, no risk, can be used as often as necessary to observe the effectiveness of treatment over time

• Uses infrared detectors to detect heat and increased vascularity that may be related to angiogenesis

• Can detect physiological changes many years prior to any other method of screening

• Very sensitive to fast growing aggressive tumors

• Hormonal activity in the breast will affect thermographic imaging but not to the point of abnormality

• All breast shapes, conditions and areas are within the scope of imaging

• Earliest warning system with breast tissue and physiological changes that usually precedes tumor formation years prior to its occurrence

• Average Specificity 90% (10% false positive)

• Average Sensitivity 90% (10% cancers missed) most of these are slow growing tumors with low metabolic rate in the area with a high rate of survival

Of course everyone has heard by now that early detection prolongs life expectancy, this is a given. However if cancer has been detected early, it would mean that you already have cancer. Prevention should take precedence over detection. Prevention means not getting cancer in the first place. If we are going to reverse the present trend of the epidemic proportion of breast cancer, we need to come up with a more proactive approach, which needs to become the norm for patient assessment. Cancer starts with one abnormal cell, and it takes nearly 8 years for that one abnormal cell to replicate to one billion cells. One billion cells produce a detectable lump that is one centimeter in size. This is the size of a lump that can be seen on a mammogram. This is not an early finding.

Every woman should know her risk for breast cancer. With proper risk assessment that includes different testing modalities, the patient is able to determine her risk factors and develop an action plan on how to improve the breast tissue or even reverse the existing trend. The current screening strategy is not enough to protect women from breast cancer. Medical infrared imaging should be added to every woman’s regular breast health care.
by: Cynthia Simmons
Read Full Article...>>>

Jangan Anggap Remeh Stres

TERNYATA tidak hanya penyakit fisik saja yang menjadi pemicu timbulnya penyakit jantung, namun penyakit yang berhubungan dengan psikis menjadi satu faktor penyebabnya, yaitu depresi. Diketahui bahwa stres akan membuat pembuluh darah menyempit, tekanan darah meningkat, dan kadar kolesterol meningkat.

Banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa bila menghadapi situasi yang tegang, dapat terjadi arithmias jantung yang membahayakan jiwa. Orang yang mudah stres dua kali lipat lebih mudah terkena penyakit jantung. Dikatakan oleh ahli kejiwaan dari Rumah Sakit Internasional Omni Alam Sutera Tangerang, dr Andri SpKJ, pasien dengan riwayat depresi yang sering muncul mempunyai peningkatan rata-rata risiko kematian 4 sampai 5 kali setelah infark miokardium daripada yang tidak depresi. Depresi setelah infark miokard berhubungan dengan timbulnya infark kembali dan kematian.

Ketika semua faktor pemicu penyakit jantung bisa terkontrol, ternyata masih ada faktor lain yang bisa membuat jantung meradang. Faktor itu adalah depresi. Depresi ini pun merupakan faktor risiko yang tersendiri (independen) yang memicu munculnya penyakit jantung koroner pada pria dan wanita. ”Depresi dapat menyebabkan kematian tiba-tiba lewat kerja pada saraf vagus, yang berhubungan dengan detak jantung,” tuturnya.

Andri menjelaskan, depresi menyebabkan penurunan suatu zat dalam tubuh yang dinamakan serotonin. Penurunan kadar serotonin ini berhubungan dengan perubahan perlengketan platelet. Hal ini membuat orang yang depresi mempunyai kecenderungan plateletnya lengket di pembuluh darah (jantung).

Melihat hubungan yang sangat erat antara faktor psikologis dan penyakit jantung, maka jangan segan-segan untuk berkonsultasi dengan psikiater bidang psikosomatik yang banyak berhubungan dengan kasus-kasus demikian. ”Dengan penanganan stres dan depresi pada pasien jantung yang tepat, maka penanganan penyakit jantung pun akan semakin baik dan kualitas hidup pasien akan semakin meningkat,” sarannya.

Hubungan antara stres dan jantung juga pernah diungkap oleh ahli epidemiologi dari University College London, Tarani Chandola. Dalam penelitian yang melibatkan 10.000 responden itu terungkap bahwa stres memiliki peran lebih banyak terkait dengan perubahan biologis dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.

”Ini kali pertama penelitian yang melibatkan responden dalam jumlah besar tentang pengukuran efek stres terkait pekerjaan sehari-hari yang mengakibatkan penyakit jantung. Salah satu masalahnya adalah orang yang hidup skeptis dalam tekanan pekerjaan memengaruhi orang itu secara biologis,” ujar Tarani.

Stres bisa membuat kekacauan sistem internal tubuh yang berujung terganggunya kinerja jantung. Terganggunya kinerja jantung akan menyebabkan penumpukan dan menutup darah di saluran arteri, tekanan darah tinggi, dan menghancurkan sistem darah.
http://lifestyle.okezone.com
Read Full Article...>>>